AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN
Pergumulan dengan “teori interaksi komunikatif” Habermas menyingkapkan beberapa peluang bagi dialog antar budaya, agama, dan juga ilmu pengetahuan yang menjadi persoalan masyarakat modern. Dialog seperti itu diharapkan tidak menghasilkan keterpinggiran agama dari kehidupan sosial, tapi melahirkan rasa saling menghargai peran dan posisi masing-masing guna membangun sebuah masyarakat yang lebih manusiawi, demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia. Maraknya aksi terorisme yang bernuansa agama akhir-akhir ini, termasuk di negeri kita, menantang kita untuk merefleksikan dan merumuskan kembali posisi dan makna agama-agama dalam dunia modern yang kian tersekularisasi. Sekularisasi terungkap antara lain dalam fenomena kian terdesaknya agama ke dalam ruang privat. Agama tidak punya peran lagi di ruang publik seperti halnya dalam teokrasi. Urusan publik menjadi tanggung jawab negara. Di Barat, lembaga-lembaga agama seperti gereja tidak lagi menempati posisi sentral dalam masyarakat. Suara-suara lembaga agama menyangkut dampak etis dari persoalan-persoalan publik seperti aborsi, euthanasia, kurang mendapat respons yang wajar dari negara. Tugas untuk mencari solusi atas masalah-masalah ini mulai diambil alih oleh ilmu pengetahuan. Keterpinggiran agama dalam masyarakat modern melahirkan konflik antara agama dan ilmu pengetahuan. Sekularisasi dipandang sebagai musuh agama. Betulkah demikian? Atau adakah alternatif lain yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan konflik tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini saya ingin memperkenalkan analisa kritis dari Jürgen Habermas, seorang filsuf sosial Jerman terkemuka dewasa ini. Lewat teori interaksi komunikatifnya ia mengembangkan konsep rasionalitas kehidupan bersama. Menurutnya, dialog rasional merupakan salah satu basis penting guna mewujudkan kehidupan bersama secara damai antar umat manusia dengan asal, iman, bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Bukan bahasa senjata, melainkan senjata bahasa yang dibutuhkan. Dan senjata bahasa itu tidak pernah boleh digunakan untuk mematikan lawan. Dialog tidak boleh menghasilkan kubu yang kalah dan yang menang. Tujuan dialog adalah menjelaskan rasionalitas kehidupan bersama sehingga semua orang bisa setuju atau mencapai sebuah konsensus rasional.
Pergumulan dengan “teori interaksi komunikatif” Habermas menyingkapkan beberapa peluang bagi dialog antar budaya, agama, dan juga ilmu pengetahuan yang menjadi persoalan masyarakat modern. Dialog seperti itu diharapkan tidak menghasilkan keterpinggiran agama dari kehidupan sosial, tapi melahirkan rasa saling menghargai peran dan posisi masing-masing guna membangun sebuah masyarakat yang lebih manusiawi, demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Sebelum menggeluti konsep Habermas tentang kemungkinan dialog antar iman atau agama dengan ilmu pengetahuan dalam masyarakat modern, mungkin ada baiknya jika kita melihat relevansi teologis pemikiran Habermas tentang teori komunikasi. Habermas sesungguhnya bukan seorang religius meskipun berasal dari latar belakang keluarga protestan. Bahkan ayahnya adalah seorang pendeta protestan di kota kelahiran Habermas, Gummersbach, Jerman. Habermas menyebut dirinya, dengan meminjam ungkapan sosiolog Max Weber, sebagai seorang yang buta terhadap hal-hal religius (der religiös Unmusikalische). Ia juga menyangkal peran Allah sebagai dasar agama-agama. Kendati demikian, Habermas tetap mengakui peran agama untuk menciptakan arti dan makna kehidupan dalam sebuah dunia tersekularisasi selama modernitas belum menemukan alternatif lainnya.
Perhatian Habermas akan pentingnya peran agama dalam masyarakat semakin bertambah akhir-akhir ini. Hal ini diungkapkan dalam pidatonya ketika ia pada tanggal 14 Oktober 2001 ketika ia mendapat penghargaan dari “Friedenspreis des deutschen Buchhandels” (Hadiah Perdamain dari Perhimpunan Toko Buku Jerman). Pidato ini diprovokasi oleh peristiwa 11 September 2001 dan mengangkat tema lama tentang hubungan antara iman dan pengetahuan (Glauben und Wissen). Habermas berpendapat, aksi terorisme pada tanggal 11 September 2001 merupakan salah satu ungkapan nyata ketegangan antara iman dan pengetahuan, Glauben und Wissen, sebuah masyarakat atau dunia sekular. Iman dan Ilmu pengetahuan, agama dan sekularisasi seolah-olah merupakan dua kekuatan yang tidak pernah bertemu dan saling menghilangkan. Hal ini lahir dari pemahaman yang salah tentang sekularisasi. Habermas melihat dua model yang keliru dalam pemahaman tentang sekularisasi. Model pertama ia namakan Verdrängungsmodell. Menurut paradigma ini, agama dalam masyarakat modern akan lenyap dan posisinya akan digantikan oleh ilmu pengetahuan dan ideologi kemajuan masyarakt modern. Model yang kedua dikenal sebagai Enteignungsmodell. Di sini, sekularisasi dan modernitas dianggap sebagai musuh agama kerena ia telah melahirkan kejahatan-kejahatan moral. Para pelaku aksi teroris 11 September 2001 bertolak dari pemahaman seperti ini tentang sekularisasi dan ingin membangun kembali “moralitas” agama dengan jalan kekerasan.
Menurut Habermas kedua paradigma tentang sekularisasi di atas terlalu sempit dan bertentangan dengan kenyataan sebuah masyarakat “post-sekularisasi”, dimana agama dan ilmu pengetahuan bisa hidup dan berdampingan. Untuk menghubungkan kedua posisi ini, Habermas menganjurkan sebuah posisi menengah yang ia sebut Commonsense yang rasional, demokratis dan semakin kuat. Iman yang terungkap dalam agama telah menerjemahkan dirinya ke dalam bahasa ilmu sekular. Dengan demikian, iman bersikap terbuka terhadap setiap bentuk analisa kritis-rasional. Tapi itu saja belum cukup. Commonsense sebagai akal sehat yang menempati posisi menengah tidak bisa secara berat sebelah mendukung ilmu pengetahuan dan mengabaikan peran agama. Ia juga harus terbuka terhadap isi agama. Agar dalam setiap usaha menciptakan konsensus rasional, tidak meminggirkan agama secara tidak fair dari masyaraka umum dan tidak menutup sumber daya atau potensialitas agama bagi masyarakat sekular, maka pihak sekular pun harus tetap mempertahankan cita rasanya bagi daya artikulasi bahasa religius. Dan karena batasan antara argumentasi religius dan ilmu pengetahuan sering kabur, maka dituntut kesediaan dari kedua belah pihak untuk melihat persoalan dari sudut pandang pihak lain. Habermas tidak menghendaki penyingkiran makna religius yang potensial secara sekuler, tapi coba menerjemahkannya ke dalam konsep modern.
Sebagai contoh ia mengangkat iman Alkitabiah tentang manusia sebagai gambaran Allah (bdk. Kejadian, 1:27). Terlepas apakah sesorang mengimani ajaran tentang manusia sebagai citra Allah, intuisi yang terkandung di dalamnya, dapat juga dimengerti oleh orang yang buta secara religius (der religiös Unmusikalische). Kebebasan cinta terungkap dalam rasa saling mengerti dan menghargai. Maka manusia sebagai gambaran Allah mesti bebas untuk membalas perhatian dan cinta Allah. Akan tetapi kebebasan manusia itu tidak boleh meniadakan sifatnya sebagai makhluk ciptaan. “Allah hanyalah Àllah bagi manusia bebas` sejauh perbedaan absolut antara pencipta dan ciptaan tidak dihilangkan.” Habermas memperlihatkan kebenaran ini sebagai berikut: Segala sesuatu yang diterjemahkan ke dalam permainan bahasa manusiawi menjadi objektif dan bisa digambarkan, tapi tidak mampu menggugah rasa dan tanggung jawab subjek dalam lingkup hidupnya. Manusia yang terobjektivasi adalah korban sebuah hubungan sebab-akibat. Ia bukan lagi subjek bebas yang secara spontan mampu bertindak secara bertanggung jawab. Dan di sinilah peran agama dalam mayarakat modern: menyelamatkan manusia sebagai subjek bebas dan bertanggung jawab.
Peran ini hanya bisa dimainkan agama-agama jika mereka bersikap terbuka terhadap peran kritis-rasional ilmu pengetahuan. Keterbukaan merupakan sumber legitimasi agama-agama dalam sebuah masyarakt modern. Habermas juga menyebutkan sumber legitimasi lainnya seperti kemampuan agama untuk berdialog dengan agama dan ideologi lain. Selain itu, agama-agama juga harus terbuka terhadap premis sebuah negara hukum yang mendasarkan dirinya pada moral sekuler.
Uraian Habermas tentang agama sangat berorientasi sosiologis. Ia coba menguak makna dari setiap penyataan iman, mengomunikasikannya tanpa harus menentukan apakah isi iman itu benar atau tidak. Meskipun Habermas tidak menyentuh persoalan iman itu sendiri, ia bisa menghantar kita mendekati batas, dimana kita mesti mengambil keputusan dalam hal iman. Pemikiran Habermas juga merupakan sumbangan besar bagi dialog antar agama dan ilmu pengetahuan demi membangun sebuah masyarakat bermoral dan berkemanusiaan